Rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat yang berlangsung alot hingga dini hari tadi, Sabtu 31 Maret 2012, akhirnya memutuskan menunda kenaikan harga BBM bersubsidi. Rapat itu sekaligus mensahkan Rancangan Undang-undang (RUU) APBN-P 2012.
RUU APBN-P itu disusun untuk mengubah Undang-undang APBN 2012. Semula pemerintah mengusulkan agar ayat 6 pada pasal 7 dalam undang-undang itu dicabut saja. Mengapa dicabut? Sebab ayat itu melarang pemerintah menaikan harga BBM eceran.
Padahal harga minyak dunia terus naik. Harga minyak mentah atau Indonesia Crude Price(ICP) juga terus meningkat. Dalam APBN 2012, asumsi harga ICP 105. Padahal harga real Februari 2012 sudah 122. Itu sebabnya pemerintah mengusulkan kenaikan BBM. Tapi tidak bisa. Sebab ayat 6 pasal 7 itu melarang.
Pemerintah minta ayat itu dicabut, sehingga mereka bisa menyesuaikan harga. Usul itu ditolak sejumlah partai politik. Fraksi PDI Perjuangan, Hanura, Gerindra,dan PKS menolak keras rencana itu. Guna mengatasi kebuntuan, sejumlah partai politik yang bergabung dalam koalisi pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono, mengusulkan tambahan ayat.
Artinya, ayat 6 itu tidak dicabut. Tapi ada tambahan ayat baru yaitu ayat 6A. Ayat baru ini memberi keleluasan kepada pemerintah untuk menaikkan harga BBM, jika memenuhi syarat tertentu. Syarat itu adalah apabila dalam masa 6 bulan harga ICP 15% lebih tinggi dari harga yang dipatok pada APBN.
Maka rumusannya adalah 15(105)+105= 120,75 per barel. Jadi apabila dalam kurun waktu 6 bulan rata2 kenaikan ICP itu 120,75 maka pemerintah berhak menaikan harga BBM. Usul ini sebenarnya berasal dari Fraksi Golkar ( Baca: Hitung-hitungan Kenaikkan BBM)
Usul ini tetap ditolak oleh Fraksi PDI Perjuangan, Hanura dan Gerindra. Karena ditolak, maka rapat paripurna terpaksa voting.
Ada dua pilihan dalam voting itu.
Pilihan pertama= tidak ada perubahan apapun pada pasal 7 ayat 6 itu. Artinya pemerintah tidak boleh menaikkan BBM.
Pilihan kedua= menerima penambahan ayat 6A pada pasal 7 itu. Isinya mengijinkan pemerintah menaikan harga BBM, jika harga rata2 ICP dalam enam bulan terakhir, naik 15 persen.
Dalam voting yang menang adalah pilihan kedua. Tapi itu tidak secara otomatis pemerintah menaikan BBM. Harga ICP Februari 2012 memang sebesar 122 dan Maret disebut-sebut naik menjadi 128, yang artinya di atas 120,75. Tapi jika dihitung rata-rata dalam enam bulan belakangan cuma 116,49.
Rinciannya: Oktober 2011 (109,29), November 2011 (112,94) Desember 2011(110,70) Januari 2012 (115,90) Februari 2012 (122,17),dan Maret 2012 (128).
Dengan demikian, rata-rata persentase kenaikan dalam 6 bulan terakhir cuma 10,94 persen. Padahal syarat untuk menaikkan BBM dalam ayat 6A itu adalah 15%. Jadi BBM tidak naik.
Cuma Menunda Masalah
Kepala Ekonom Danareksa Research Institute, Purbaya Yudhi Sadewa menilai, keputusan DPR semalam bukanlah keputusan yang tepat. Menurutnya, jika patokan enam bulan diterapkan mulai April, maka akan terlambat untuk menyelamatkan anggaran.
Per triwulan kedua nanti, pemerintah hanya punya waktu tiga bulan untuk berhemat hingga anggaran berikutnya. Lain halnya jika patokan enam bulan dimulai dari bulan Januari, maka pemerintah punya cukup banyak waktu, sekitar enam bulan untuk berhemat.
"Kemungkinan minyak naik Oktober, besarnya tergantung harga minyak dunia. Bisa mencapai Rp3.000 jika ingin menyelamatkan anggaran yang sama," kata Sadewa kepada VIVAnews, Sabtu, 31 Maret 2012.
Menurutnya, pemerintah tidak memberikan edukasi yang benar kepada masyarakat dengan keputusan tersebut. Dia menjelaskan, semakin menunda kenaikan BBM, maka jumlahnya akan semakin besar. Semakin cepat naik, maka semakin kecil jumlahnya.
"Saya kira pemerintah hanya menunda masalah. Jika saatnya nanti kenaikan BBM dieksekusi, maka akan sangat menyakitkan," ujarnya.
Yang harus dilakukan pemerintah saat ini, ujar Sadewa, adalah mengatur APBN dengan asumsi menaikkan BBM sangat sulit. Ini dilakukan agar APBN dapat berjalan berkesinambungan. "Kalau tidak bisa repot, ini akan terulang lagi setiap awal tahun," kata Sadewa.
RUU APBN-P itu disusun untuk mengubah Undang-undang APBN 2012. Semula pemerintah mengusulkan agar ayat 6 pada pasal 7 dalam undang-undang itu dicabut saja. Mengapa dicabut? Sebab ayat itu melarang pemerintah menaikan harga BBM eceran.
Padahal harga minyak dunia terus naik. Harga minyak mentah atau Indonesia Crude Price(ICP) juga terus meningkat. Dalam APBN 2012, asumsi harga ICP 105. Padahal harga real Februari 2012 sudah 122. Itu sebabnya pemerintah mengusulkan kenaikan BBM. Tapi tidak bisa. Sebab ayat 6 pasal 7 itu melarang.
Pemerintah minta ayat itu dicabut, sehingga mereka bisa menyesuaikan harga. Usul itu ditolak sejumlah partai politik. Fraksi PDI Perjuangan, Hanura, Gerindra,dan PKS menolak keras rencana itu. Guna mengatasi kebuntuan, sejumlah partai politik yang bergabung dalam koalisi pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono, mengusulkan tambahan ayat.
Artinya, ayat 6 itu tidak dicabut. Tapi ada tambahan ayat baru yaitu ayat 6A. Ayat baru ini memberi keleluasan kepada pemerintah untuk menaikkan harga BBM, jika memenuhi syarat tertentu. Syarat itu adalah apabila dalam masa 6 bulan harga ICP 15% lebih tinggi dari harga yang dipatok pada APBN.
Maka rumusannya adalah 15(105)+105= 120,75 per barel. Jadi apabila dalam kurun waktu 6 bulan rata2 kenaikan ICP itu 120,75 maka pemerintah berhak menaikan harga BBM. Usul ini sebenarnya berasal dari Fraksi Golkar ( Baca: Hitung-hitungan Kenaikkan BBM)
Usul ini tetap ditolak oleh Fraksi PDI Perjuangan, Hanura dan Gerindra. Karena ditolak, maka rapat paripurna terpaksa voting.
Ada dua pilihan dalam voting itu.
Pilihan pertama= tidak ada perubahan apapun pada pasal 7 ayat 6 itu. Artinya pemerintah tidak boleh menaikkan BBM.
Pilihan kedua= menerima penambahan ayat 6A pada pasal 7 itu. Isinya mengijinkan pemerintah menaikan harga BBM, jika harga rata2 ICP dalam enam bulan terakhir, naik 15 persen.
Dalam voting yang menang adalah pilihan kedua. Tapi itu tidak secara otomatis pemerintah menaikan BBM. Harga ICP Februari 2012 memang sebesar 122 dan Maret disebut-sebut naik menjadi 128, yang artinya di atas 120,75. Tapi jika dihitung rata-rata dalam enam bulan belakangan cuma 116,49.
Rinciannya: Oktober 2011 (109,29), November 2011 (112,94) Desember 2011(110,70) Januari 2012 (115,90) Februari 2012 (122,17),dan Maret 2012 (128).
Dengan demikian, rata-rata persentase kenaikan dalam 6 bulan terakhir cuma 10,94 persen. Padahal syarat untuk menaikkan BBM dalam ayat 6A itu adalah 15%. Jadi BBM tidak naik.
Cuma Menunda Masalah
Kepala Ekonom Danareksa Research Institute, Purbaya Yudhi Sadewa menilai, keputusan DPR semalam bukanlah keputusan yang tepat. Menurutnya, jika patokan enam bulan diterapkan mulai April, maka akan terlambat untuk menyelamatkan anggaran.
Per triwulan kedua nanti, pemerintah hanya punya waktu tiga bulan untuk berhemat hingga anggaran berikutnya. Lain halnya jika patokan enam bulan dimulai dari bulan Januari, maka pemerintah punya cukup banyak waktu, sekitar enam bulan untuk berhemat.
"Kemungkinan minyak naik Oktober, besarnya tergantung harga minyak dunia. Bisa mencapai Rp3.000 jika ingin menyelamatkan anggaran yang sama," kata Sadewa kepada VIVAnews, Sabtu, 31 Maret 2012.
Menurutnya, pemerintah tidak memberikan edukasi yang benar kepada masyarakat dengan keputusan tersebut. Dia menjelaskan, semakin menunda kenaikan BBM, maka jumlahnya akan semakin besar. Semakin cepat naik, maka semakin kecil jumlahnya.
"Saya kira pemerintah hanya menunda masalah. Jika saatnya nanti kenaikan BBM dieksekusi, maka akan sangat menyakitkan," ujarnya.
Yang harus dilakukan pemerintah saat ini, ujar Sadewa, adalah mengatur APBN dengan asumsi menaikkan BBM sangat sulit. Ini dilakukan agar APBN dapat berjalan berkesinambungan. "Kalau tidak bisa repot, ini akan terulang lagi setiap awal tahun," kata Sadewa.
|
NAMA ANDA
MASUKKAN TOMBOL TWEET DISINI |
|
0 komentar:
Posting Komentar